KETIK, SURABAYA – Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas minimal pencalonan presiden 20 persen yang mulai diberlakukan sejak Pemilu 2009 dengan berpedoman pada UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ambang batas 20 persen bagi partai politik atau gabungan partai politik (dihitung dari kursi di DPR) dihapus karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Konstitusi Universitas Airlangga (Unair), Dr Rosa Ristawati SH LLM berpendapat bahwa putusan ini memberikan nuansa kepastian hukum baru.
Presidential threshold setidaknya pernah lebih dari 33 kali diuji dengan variasi pertimbangan hukum dan amar putusannya.
Rosa menambahkan bahwa pengujian yang berulang kali menunjukkan semakin kuatnya indikasi ketidakpastian konstitusional, rasa ketidakadilan, serta tertutupnya akses demokrasi.
Rosa menjelaskan bahwa kewenangan MK berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 menunjukkan kewenangan MK dalam menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
“Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution berperan penting menjaga keadilan dan kepastian hukum kepada masyarakat,jelasnya melalui keterangan tertulis pada Selasa 7 Januari 2025.
"Putusan MK yang sebelum-sebelumnya seakan menunjukkan bahwa MK belum berani memberikan terobosan politik sebagai langkah memberikan kepastian dan keadilan bagi masyarakat,” tegasnya.
Menurut Dr Rosa, Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menyatakan presidential threshold bertentangan dengan undang-undang dasar telah sesuai dengan aspek konstitusional.
MK dalam menguji perkara, pasti melakukan interpretasi melalui pendekatan originalism dari konstitusi.
“Tidak hanya itu, dalam putusan ini MK juga menelusuri risalah pembahasan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 dan risalah pembahasan rancangan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017,” tuturnya.
Kemudian, kata Dr Rosa, berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, presidential threshold tidak memberikan manfaat bagi demokrasi.
Hadirnya putusan ini, memberikan angin segar untuk memperluas kesempatan partisipasi politik. Putusan ini dapat menjadi langkah baru membuka akses demokrasi yang selama ini mungkin tertutup tirani mayoritas partai politik yang dominan.
Pakar hukum konstitusi tersebut berharap putusan ini membawa dampak baik bagi keadilan konstitusional dan mengembalikan makna demokrasi yang sesungguhnya.
“Penghapusan presidential threshold dari putusan ini, semoga akan berdampak baik bagi keadilan konstitusional maupun keadilan elektoral (electoral justice) pada pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia,” pungkasnya.(*)