KETIK, PALEMBANG – Isu kerusakan lingkungan menjadi salah satu persoalan krusial di Provinsi Sumatera Selatan saat ini. Hal itu turut menarik atensi kalangan perempuan dalam menyoroti masalah-masalah yang berdampak pada kelangsungan hidup alam sekitar.
Melalui kegiatan Focus Grup Discussion yang digelar oleh Teater Potlot, Akademisi sekaligus penulis isu lingkungan Dian Maulina kembali mengingatkan, sejatinya Sumatera Sleatan dengan keragaman alamnya, sejak dulu sudah memiliki keterkaitan dengan manusia khususnya perempuan.
Perempuan yang hidup di wilayah lahan basah Sungai Musi pun telah akrab dengan dunia sastra. Keterlibatan perempuan pada masa itu telah banyak melahirkan karya, baik berupa puisi maupun prosa yang dijadikan sebagai media ekspresi.
“Perempuan dulu menjadikan karya sastra ini sebagai ekspresi kegelisahannya terhadap ruang hidup atau lingkungan,” katanya saat diwawancarai Ketik.co.id beberapa waktu lalu.
Merespon hal tersebut, Dian kemudian menyampaikan bahwa dirinya bersama dengan Teater Potlot dan penulis sekaligus peneliti pada kajian lingkungan, kebudayaan, sastra dan sejarah, Arbi Tanjung telah menerbitkan buku yang bertajuk Sastra Tutur dan Perempuan Lahan Basah Sungai Musi.
“Buku yang kami terbitkan ini menunjukkan perhatian besar perempuan terhadap alam, dan hubungan manusia dengan alam, melalui sastra tutur, sejalan dengan perjalanan kondisi lahan basah Sungai Musi, yang saat ini terus mengalami kerusakan,” terangnya.
Jadi, kata Dian, tujuan dari penerbitan buku yang ditulisnya bersama Arbi Tanjung, yakni memberikan dampak bagi masyarakat di Sumatera Selatan untuk menyelamatkan lahan basah Sungai Musi.
Dengan terselamatkannya lahan basah yang ada maka berbagai tradisi terkait dengan perempuan, seperti sastra tutur, kuliner, kerajinan, akan tetap bertahan atau tumbuh kembali.
Senada dengan itu, Dekan Fakultas Adab dan Humanioran Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Endang Rochmiatun menambahkan sastra tutur menjadi salah satu jejak berkembangnya peradaban perempuan di masa lampau.
“Adanya sastra tutur yang berkembang pada masyarakat yang menetap di lahan basah Sumatera Selatan, membuktikan sejak dulu banyak perempuan di Sumatera Selatan yang menjadi pelaku sastra. Bahkan berdasarkan penelitian saya, perempuan di Palembang, di awal abad ke-20, sudah ada yang menuliskan karya puisi pada sejumlah surat kabar, seperti di Pertja Selatan dan Kemudi,” bebernya.
Sastra klasik maupun modern sudah menjadi ruang ekspresi perempuan untuk mengisahkan atau menggambarkan kehidupan mereka. Baik yang terkait dengan dirinya, keluarga, maupun dengan lingkungan.
“Tentunya karya sastra tutur yang masih bertahan, yang masih diingat para maestro atau pelestarinya penting untuk diarsipkan dan dipertunjukkan, sehingga menjadi bahan yang baik untuk dikaji dan diteliti terutama untuk menggambarkan kehidupan di masa lalu, dan berbagai pengetahuan yang terkandung di dalamnya,” jelas Endang.
Tidak hanya itu saja Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VI Sumatera Selatan, Kristanto Januardi juga menjelaskan sudah banyak perempuan di Indonesia yang menyuarakan keresahan atau pikirannya melalui karya sastra sejak lama. Baik di masa sebelum kedatangan Belanda, maupun di masa pemerintahan Hindia Belanda.
“Tapi perempuan yang menyurakan persoalan lingkungan seperti di dalam buku ini bisa jadi merupakan sudut pandang yang berbeda cara membaca karya sastra tutur yang diekspresikan perempuan,” ujarnya.
Dengan hadirnya buku ini Peneliti Sastra dari Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah, Muhammad Walidin mengapresiasi buku yang diterbitkan Teater Potlot atas dukungan Indonesiana dan LPDP tersebut. Dia lebih khusus menyoroti sastra tutur andai-andai yang dituturkan Cik Isa atau Kajut Odon (109 tahun)
“Mengutip James James Dananjaya, bahwa penelitian terhadap tradisi lisan merupakan aspek penting bagi pembangunan sebuah bangsa. Pembangunan mempunyai dua aspek: aspek fisik dan aspek psikis. Keduanya penting, namun yang terpenting adalah aspek psikis, karena tanpa persiapan mental, tanpa adanya motivasi untuk maju, pembangunan fisik akan sukar dilaksanakan,” katanya.
Beranjak dari pemikiran tersebut, Walidin, merekomendasikan agar penampilan sastra lisan, seperti andai-andai, harus sering diadakan. Bahkan perlu diadakan pelatihan penulisan versi andai-andai. Sasarannya untuk semua usia. (*)